Legenda Batuwangi



Legenda Batuwangi

Pada suatu hari, terdapat seorang tokoh agama bernama Embah Dalem Batuwangi yang berkeinginan untuk menyebarkan agama Islam di kampung Ciudian, desa Singajaya. Di daerah tersebut, tentara Pajajaran juga memiliki niat yang sama dalam menyebarkan agama Islam.

Embah Dalem Batuwangi memiliki dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sangat cantik. Pada suatu waktu, seorang pemuda dari daerah Sukapura Tasikmalaya datang untuk melamar sang putri. Sang ayah dengan senang hati menerima lamaran tersebut karena melihat putrinya telah dewasa dan ada yang ingin mempersuntingnya. Mereka saling mencintai dan akhirnya menikah.

Pada saat pernikahan, setelah upacara akad nikah selesai, dilanjutkan dengan acara adat Sunda yang disebut "huap lingkung" di mana kedua pengantin saling menyuapi makanan, dan kemudian dilanjutkan dengan acara adat lain yang disebut "pabetot-betot bakakak hayam" di mana kedua pengantin saling tarik-menarik ayam bakar. Tanpa disangka, saat sedang asyik-asyiknya mereka saling tarik-menarik ayam bakar, kepala ayam tersebut tiba-tiba pecah dan mengotori baju pengantin perempuan di bagian payudara.

Pengantin perempuan berkata dengan khawatir, "Aduh, kepala ayamnya pecah, bagaimana ini? Apakah tidak akan terjadi apa-apa?" Dia melirik ke arah kakak laki-laki yang berada di dekatnya. Kakak laki-laki tersebut merasa kasihan pada adiknya dan tidak memiliki niat jahat. Dia berkata, "Aduh... Biar aku yang membersihkannya!" Sambil berkata demikian, dia membersihkan noda yang menempel pada baju pengantin perempuan.

Kejadian tersebut terlihat jelas oleh mempelai laki-laki yang duduk di samping pengantin perempuan. Suami tersebut menjadi sangat marah. Hal itu terlihat dari sorot mata merah, kening yang berkerut, dan nafas yang naik-turun. Suami berkata, "Kamu kurang ajar! Tidak sopan, berani memegang payudara istri saya!" Kakak pengantin perempuan yang merasa tidak bersalah, tidak menerima perlakuan kasar tersebut. Akhirnya, mereka berdua bertengkar.

Kakak laki-laki berkata, "Tunggu sebentar... Jangan langsung mengambil kesimpulan seperti itu, Nak." "Jangan banyak bicara, kamu tidak menghargai saya sebagai suamimu," kata pengantin laki-laki. Kakak laki-laki tidak menyangka bahwa kejadian tersebut akan membesar menjadi seperti itu. Kakak pengantin perempuan berusaha menjelaskan situasi sebenarnya kepada pengantin laki-laki yang terus marah-marah.

Namun, kakak laki-laki tidak dapat membuat pengantin laki-laki memahami, karena ia sudah terlanjur marah. Akhirnya, keduanya terlibat dalam pertengkaran hebat. Pengantin laki-laki berkata, "Kurang ajar kamu! Tidak sopan, berani memegang payudara istri saya!" Kakak pengantin perempuan yang merasa tidak bersalah, menolak menerima perlakuan kasar tersebut. Pertengkaran mereka semakin memanas.

Kakak laki-laki mencoba menenangkan situasi, "Tunggu sebentar, jangan langsung mengambil kesimpulan seperti itu, Nak." Namun, pengantin laki-laki tidak mau mendengarkan dan terus memarahi kakak pengantin perempuan. Pertengkaran mereka semakin memburuk, hingga akhirnya berujung pada tragedi. Pengantin perempuan menjerit sedih dan kesakitan, tidak mampu menahan beban cobaan yang menimpanya. Sambil menggoyangkan tubuh kakaknya dan suaminya, ia berteriak, "Akaaaaang..... jangan tinggalkan saya!"

Sayangnya, pengantin perempuan tidak bisa lagi menanggung penderitaannya dan memutuskan untuk bunuh diri. Melihat orang-orang yang dicintainya meninggal karena terjebak dalam amarah dan nafsu yang gelap, Mbah Dalem Batuwangi akhirnya mengucapkan sebuah sumpah, "Tujuh keturunan terkutuk untuk tidak memakan kepala ayam."

Sejak saat itu, keturunan-keturunan Mbah Dalem Batuwangi dilarang memakan kepala ayam. Jika ada yang melanggar larangan tersebut, akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada dirinya.

Dengan demikian, legenda Batuwangi mengisahkan kisah tragis yang terjadi akibat amarah, kesalahpahaman, dan keputusan yang tidak bijaksana. Legenda ini mengingatkan kita akan pentingnya mengendalikan emosi dan menjaga hubungan harmonis antara sesama manusia.


Previous Post Next Post